Terdapat 165 kursi komisaris BUMN yang diisi politisi; Puan berharap regulasi baru bisa kurangi dominasi politik di BUMN dan perbaiki tata kelola lembaga milik negara.
Hingga kini, posisi komisaris bumn masih diwarnai dominasi politisi—data menunjukkan sekitar 165 komisaris BUMN berlatar belakang politik. Ketua DPR, Puan Maharani, berharap agar regulasi anyar dapat meredam praktek politisasi di tubuh BUMN dan memperkuat profesionalisme pengelolaan negara.
Data & Temuan Transparansi Indonesia
Menurut laporan Transparency International Indonesia (TII), dari total 562 kursi komisaris yang tersebar di BUMN induk dan anak perusahaan, 165 di antaranya diisi politisi atau relawan politik.
Yang menarik, hampir setengah dari komisaris politik tersebut berasal dari kader Partai Gerindra.
Temuan ini menegaskan bahwa jabatan komisaris bumn masih sangat rentan dijadikan alat tukar dalam hubungan politik.
Menurut Asri Widayati, peneliti TII, dominasi kader partai dalam posisi strategis seperti komisaris bumn mencerminkan praktik patronase politik yang masih kuat dalam struktur pengisian jabatan perusahaan milik negara.
Penekanan Komentar Puan Maharani & Harapan Reformasi
Ketua DPR, Puan Maharani, menyikapi data ini dengan optimisme bahwa regulasi baru akan membawa perubahan positif. Ia menyatakan bahwa idealnya posisi komisaris bumn tak lagi menjadi ladang bagi politisi dan relawan, melainkan diisi oleh figur yang kompeten dan independen.
Puan berharap bahwa revisi undang-undang atau aturan pelengkap dapat membatasi akses politisi ke jabatan komisaris tersebut. Dengan demikian, tata kelola BUMN bisa lebih transparan, terhindar konflik kepentingan, dan berorientasi pada kepentingan publik.
Kritik & Tanggapan dari Pemerintah dan Pakar
Meski banyak kritik, ada pula yang membela praktek ini dengan argumen bahwa politisi pun bisa profesional. Politikus PKS, misalnya, menyatakan bahwa kehadiran politisi sebagai komisaris sah saja asalkan ia memiliki kompetensi.
Di sisi lain, Kementerian BUMN atau pihak dalam pemerintahan kadang menanggapi bahwa penunjukan komisaris dari kalangan politik dilakukan untuk menjaga keselarasan kebijakan kementerian dengan BUMN.
Namun, sejumlah pengamat dan elemen publik tetap mengkritik bahwa ketika prinsip meritokrasi batal diutamakan, potensi konflik kepentingan dan munculnya keputusan yang bias politik menjadi ancaman nyata.
Regulasi & Upaya Pembaruan
Seiring dengan sorotan publik, beberapa regulasi baru mulai digulirkan atau diusulkan:
- UU BUMN terbaru menegaskan bahwa anggota komisaris dan direksi bukan penyelenggara negara, sehingga status hukumnya disamakan dengan entitas korporat biasa.
- Dalam RUU BUMN yang dibahas, disertakan usulan larangan rangkap jabatan wakil menteri atau pejabat publik lainnya sebagai komisaris.
- Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa wakil menteri tetap dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris atau direksi, dan memberikan waktu penyesuaian selama dua tahun.
Langkah-langkah tersebut diharapkan bisa memotong peluang politisasi berlebihan pada jabatan komisaris bumn.
Implikasi terhadap Tata Kelola BUMN
Pengisian jabatan komisaris bumn oleh politisi membawa sejumlah konsekuensi signifikan terhadap tata kelola perusahaan milik negara. Pertama, keputusan strategis yang diambil berpotensi tidak sepenuhnya didasarkan pada pertimbangan bisnis dan korporasi, melainkan dapat dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Hal ini berisiko mengaburkan fokus utama BUMN, yang seharusnya bertujuan mengoptimalkan kinerja bisnis demi kesejahteraan publik dan negara.
Selain itu, keberadaan politisi dalam posisi komisaris dapat melemahkan fungsi pengawasan internal yang seharusnya dijalankan secara independen dan profesional. Suara-suara kritis yang didasari oleh keahlian dan pengalaman dalam bidang manajemen, keuangan, atau industri bisa saja tersingkir oleh agenda politik yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau partai tertentu. Dengan demikian, efektivitas pengawasan terhadap direksi dan kebijakan perusahaan menjadi tidak maksimal.
Lebih jauh lagi, konflik kepentingan dapat muncul ketika komisaris yang berlatar belakang politik harus menyeimbangkan antara tugas korporat dan kepentingan politik mereka. Situasi ini bisa menyebabkan pengambilan keputusan yang bias dan merugikan perusahaan, seperti penunjukan proyek, pengelolaan sumber daya, atau pemberian kontrak yang tidak transparan.
Namun, jika regulasi baru berhasil menempatkan profesionalisme dan integritas sebagai prioritas utama dalam pengisian posisi komisaris bumn, maka tata kelola BUMN memiliki peluang besar untuk mengalami perbaikan yang signifikan. Komisaris yang kompeten dan independen akan mampu menjalankan fungsi pengawasan dengan objektivitas dan akuntabilitas yang tinggi. Mereka dapat lebih fokus dalam menilai kinerja perusahaan berdasarkan data dan analisis bisnis, bukan tekanan politik.
Perbaikan tata kelola ini tidak hanya akan meningkatkan transparansi dan efisiensi BUMN, tetapi juga akan mengembalikan kepercayaan publik terhadap perusahaan negara. Dengan pengawasan yang kuat dan profesional, BUMN dapat beroperasi lebih optimal, memberikan kontribusi ekonomi yang lebih besar, serta mendorong pembangunan nasional secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, reformasi regulasi yang membatasi keterlibatan politisi dalam jabatan komisaris bukan semata-mata untuk mengurangi ruang politik, melainkan sebagai langkah strategis untuk memperkuat fondasi tata kelola korporasi negara yang sehat dan berorientasi pada kepentingan bersama.
Penutup
Secara ringkas, 165 dari kursi komisaris bumn kini diisi oleh figur berlatar politik, menimbulkan kekhawatiran terhadap integritas tata kelola perusahaan milik negara. Puan Maharani menaruh harapan bahwa regulasi baru dapat membatasi praktek politisasi tersebut dan mendorong profesionalisme di BUMN.
baca juga : Modric Bisa Langsung Bersinar di AC Milan — Apa Rahasianya?
Ke depan, publik akan menantikan apakah rekomendasi reformasi dan peraturan baru mampu menggeser paradigma—dari “komisaris bumn sebagai ruang politik” menjadi “komisaris yang profesional dan independen”.